سْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


THIS BLOG DEDICATED FOR ALL YOUTH WITH BATAVIAN BLOOD

Kami berdua adalah putra betawi asli dan bertekad meneruskan perjuangan Muhammad Husni Thamrin, yang telah mencetuskan sebuah ideum "JAWARA DAN JURAGAN DI KAMPUNG KITE" yang kembali di ploklamirkan dan diterapkan oleh


Drs.Kh A Fadloli el Muhir.


Adapun defenisi JAWARA DAN JURAGAN itu adalah, sebuah ideum lokal yang bisa mewakili suasana kebatinan masyarakat Betawi, yang ingin keluar dari himpitan sosial yang selama ini membonsai mereka.

Tentu untuk menjadi JAWARA,bukan berarti menjadi jagoan seperti Jawara tempo dulu. jawara di sini tentu dimaksudkan bahwa orang betawi harus menjadi pemberani.tidak mudah menyerah, gigih dan tegar menghadapi masalah dengan segala resiko. sikap kejawaraan semacam itu masih tetap aktual di era global ini. tanpa itu rasanya, masyarakat betawi sulit keluar dari lingkaran setan proses pembangunan yang tengah berjalan di ibu kota. sekalipun mereka diberikan akses di berbagai aspek kehidupan, rasanya orang betawi akan sulit memanfaatkannya, kalau mereka tidak memiliki sikap kejawaraan. Apalagi kalau akses mereka ditutup, maka orang betawi itu sudah jatuh tertimpa tangga.

Sementara menjadi JURAGAN, disini orang Betawi harus bisa menjadi tuan. Mereka harus bekerja keras , agar bisa menjadi juragan di negri sendiri. sikap malas,cepat puas dengan hasil yang ada, tentu sangat tidak relevan dengan sikap seorang juragan yang harus bekerja keras agar dapat diperhitungkan oleh masyarakat sekitarnya.

Dengan menjadi Juragan,orang betawi tidak mudah termaginalisasikan. Dengan menjadi juragan merka bia diperhitungkan dalam aspek kehidupan masyarakat kota. dengan Juragan mereka bisa menjadi tuan di negri sendiri.

untuk membangun stereotipe masyarakat semacam itu memang bukan seperti membalik telapak tangan. Ini tentu membutuhkan proses yang sangat panjang, belum lagi stereotipe JAWARA dan JURAGAN itu merupaka anti tesis dari kondisi masyarakat Betawi yang termaginalkan.juga ditambah pembentukan opini public yang mengatakan orang betawi rendah diri,malas,dan cepat puas dengan apa yang ereka dapatkan. ini tentu membutuhkan perubahan mind set. Harus ada perubahan kultur.

Karena ini adalah sebuah cita-cita yang sangat besar yang telah digagas oleh Drs.Kh A Fadloli el Muhir, JAWARA dan JURAGAN itu bermakna global. karena ini juga merupakan cita-cita Indonesia.

KH. Abdullah Syafi'ie


Almarhum KH Abdullah Syafi'ie lahir di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan pada 16 Sya'ban 1329 H/10 Agustus 1910 hari Sabtu. Semasa hidupnya almarhum KH Abdullah Syafi'ie populer dengan sebutan “Macan Betawi”.

Sejak kecil almarhum sudah diarahkan untuk belajar ilmu agama. Sambil menuntut ilmu, ia pun mengajar. Ketika berumur 23 tahun beliau mulai membangun Masjid Al Barakah di Kampung Bali Matraman. Di situlah Almarhum lebih menekuni pembinaan masyarakat-umat.

Selanjutnya beliau membangun sejumlah pesantren dan madrasah. Beliau membangun AULA AS-SYAFI'IYAH, membangun Akademi Pendidikan Islam As-Syafi'iyah (AKPI As-Syafi'iyah), mendirikan Stasiun Radio As-Syafi'iyah, membangun pesantren putra dan pesantren putri di Jatiwaringin, membangun pesantren khusus untuk Yataama dan Masaakin, mengembangkan sarana untuk pendidikan dan pesantren di sekitar Jakarta seperti Cilangkap-Pasar Rebo, di Payangan-Bekasi, Kp. Jakasampurna-Bekasi dan menyiapkan lokasi untuk kampus Universitas Islam As-Syafi'iyah di Jatiwaringin.
Jiwa dan semangatnya adalah membangun umat untuk menghidupkan syi'arnya agama Islam. Mendirikan masjid-masjid, musholla dan madrasah serta pesantren-pesantren. Menggalakkan umat untuk beramal jariah, infak dan shodaqoh serta berwakaf.

Pada Selasa 3 September 1985 dinihari jam 00.30 KH Abdullah Syafi'ie berpulang ke rahmatullah saat menuju rumah sakit Islam. Almarhum dishalatkan di masjid Al Barkah Bali Matraman oleh puluhan ribu umat Islam secara bergelombang dipimpin oleh para Alim Ulama. Turut serta tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah. Dimakamkan pada selasa tgl. 18 Dzulhijjah 1405 H./ 3 September 1985 di Komplek Pesantren Putra As-Syafi'iyah Jatiwaringin Pondokgede, diantar oleh ratusan ribu umat Islam.

Tuan Guru Bajang KH Zainul Majdi, yang juga mantu dari KH Abdul Rasyid (Putra KH. Abdullah Syafi’i) mengatakan, meski dirinya belum pernah bertemu dengan KH Abdullah Syafi'ie tapi ia yakin bahwa KH Abdullah Syafi'ie merupakan orang yang mulia. “Kenapa saya yakin beliau orang mulia? Karena banyak sekali orang yang suka sama beliau,” ujarnya. Menurutnya, kalau ulama sampai ratusan tahun bahkan ribuan tahun masih dikenang umat dengan kebaikan, berarti ketika ia hidup menanam kebaikan pada umat.

Menag Maftuh Basyuni, mengaku cukup mengenal baik KH Abdullah Syafi'ie, yakni di tahun 1960 an ketika baru belajar di Universitas Madinah. “Saya melihat beliau itu seorang ulama yang alim dan istiqamah dalam memegang kebenaran,” ujarnya. KH Abdullah Syafi'ie, masih kata ia, termasuk orang begitu gigih memperjuangkan kebenaran, bijak dan arif ketika melihat suatu permasalahan. Namun demikin tetap tegas dalam memegang prinsip. Meskipun memiliki ilmu yang tinggi tapi beliau tetap rendah hati, tak pernah sombong, congkak atau pun egois.

H.Darib bin Kurdin


H.Darib bin Kurdin Pejuang betawi yang terlupakan

Hanya beberapa saat setelah Bung Karno dan Bung Hatta mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia, suasana di Tanah Air, khususnya di Jakarta, terjadi berbagai pergolakan. Apalagi tidak lama kemudian, pasukan Belanda dengan mendompleng sekutu turut mendarat ke Jakarta.

Rakyat yang tidak ingin lagi melihat negerinya dijajah, melakukan perlawanan. Di Jakarta, di antara para ulama dan mualim yang menghimpun para pemuda untuk siap mati membela negara, ada nama Haji Mohammad Arif. Ia lebih dikenal dengan sebutan Haji Darip. Nama itulah yang kini diabadikan sebagai nama jalan di daerah Klender menuju arah Bekasi.

Haji Darip adalah putra asli Betawi yang lahir pada tahun 1886. Ia adalah sosok yang sangat disegani di wilayah Klender, Bekasi, dan sekitarnya. Selain dikenal sebagai mubaligh, ia juga seorang yang memiliki ilmu main pukulan (ilmu silat) yang lihai. Begitu sekutu mendarat, ia memutuskan untuk turut angkat senjata mempertahankan kemerdekaan. Dengan prinsip "mencintai Tanah Air merupakan bagian dari iman", ia membakar semangat ratusan pemuda dari Klender dan sekitarnya. Namanya yang sudah dikenal membuatnya dalam waktu singkat mengumpulkan banyak pengikut.

Mereka lalu menghimpun diri dalam Bara (Barisan Rakyat) dipimpin Haji Darip sendiri. Mereka terlibat dalam pertempuran di beberapa front di kota Jakarta. Haji Darip sendiri saat itu dijuluki "Panglima Perang dari Klender".Sebuah brosur dari Angkatan 45 Daerah Khusus Ibukota tanggal 17 Agustus 1985 -- empat tahun setelah Haji Darip meninggal dunia -- menyebutkan, almarhum pada zaman penjajahan Belanda (sebelum perang dunia kedua), berjuang bersama Bung Karno bergerak di bawah tanah, terutama di Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ketika pendudukan Jepang, menyaksikan kekejaman pasukan Dai Nippon ini, Haji Darip memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para narapidana dan napi Rutan Cipinang untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang.

Rumahnya berdekatan dengan stasiun kereta api Klender, setelah melewati Jl Pisangan Lama, Jakarta Timur. Menurut H Uung, ayahnya benar-benar berjuang lillahi ta'ala, sama seperti para ulama Betawi lainnya yang turut terlibat dalam perang kemerdekaan. Begitu tawaduknya, mereka tak mau menonjolkan diri usai perang dan namanya hilang dalam catatan sejarah. Semangatnya yang tidak pernah henti untuk mengusir penjajah, didasarkan pada ajaran agama bahwa penjajahan yang mengeksploitasi manusia tidak dibenarkan dalam Islam.

Sebelum menjadi ulama di Jakarta, Haji Darip selama bertahun-tahun menjadi mukimin di Tanah Suci Mekkah dan Madinah. Selama di sana, dia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh Islam dari berbagai negara. Inilah yang mengilhaminya untuk turut terlibat dalam pergerakan kemerdekaan sekembalinya ke Tanah Air. Ia mengawali perjuangan dengan berdakwah di sebuah musala kecil -- kini berubah menjadi Masjid Al-Makmur yang cukup megah -- di Klender. Di sini bergabung juga sejumlah ulama dari Klender yang juga pejuang seperti KH Mursidi dan KH Hasbiallah.

Ketika Jakarta dikuasai serdadu NICA Belanda yang mendompleng tentara sekutu, Haji Darip dan kawan-kawannya itu hijrah ke pedalaman Cikarang - Karawang - Purwakarta dan membentuk BPRI (Barisan Pejuang Rakyat Indonesia). Dari tempat persembunyiannya, dengan pangkat Letnan Kolonel Tituler -- ia bermarkas di Purwakarta dan menyususn strategi melawan NICA. Tahun 1948, setelah selama tiga tahun tidak henti-hentinya melawan pasukan Belanda, ia pun tertangkap. Kemudian dibawa ke Jakarta dan dipenjara di rumah tahanan Glodok (kini merupakan bagian dari pertokoan Harco). Lebih dari setahun ia mendekam di penjara Glodok, sebelum akhirnya dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan akhir Desember 1949.

Sewaktu dia masih memimpin pergerakan dari Klender, banyak para pemimpin yang datang kekediamannya, seperti Sukarni dan Pandu Kartawiguna. Kedua tokoh Partai Murba menjelang 17 Agustus 1945 menyatakan kepadanya bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka, dan mereka membicarakan pengusiran orang Jepang. Sejumlah tokoh masyarakat mengetahui bahwa Jepang sudah menyerah setelah di bom sekutu pada 6 Agustus 1945. "Kemudian saya panggil buaye-buaye sini. Dari mana-mana dari hutan-hutan juga (60 tahun lalu Klender masih merupakan perkampungan dan perkebunan), Mereka datang atas panggilan saya. Saya bicarakan soal pengusiran orang-orang Jepang," ujar Haji Darif seperti dikutip sebuah harian yang terbit tahun 1950.

Haji Darip merupakan tokoh tunggal daerah Klender yang ikut menentukan jalannya sejarah Proklamasi kemerde kaan. Dan dia merupakan salah satu tokoh Jakarta asli yang benar benar berjoang dan berperang demi lestarinya Indonesia merdeka.

Sangat menarik sekali mengikuti kisah hidup patriot kita yang seorang diri ini. Dia seorang tokoh yang self-made, yang tumbuh dari rakyat dan akhirnya memimpin rakyat sekitarnya. Dia buta huruf dan tak pernah menginjak bangku sekolah, tetap akan kita ketahui bahwa ia itu ulung dan jitu dalam tekad perbuatannya untuk bejuang dan berperang maupun dalam pembicaraa nya yang taktis dan diplomatis. Dia punya wibawa pula untuk meng gerakan api semangat rakyat yang terus berkobar. Dan orang pertama yang dapat melihat potensi pejoang klender ini adalah Sukarni, Kamaludin serta Pandu Kartawiguna.

Jika Haji Darip merintah kan anak buahnya yang manyoritas adalah para buaye, demikian julukan untuk para jagoan, maka mereka berbuat lebih dari satu itu, orang orang Jepang itu tidak hanya diserbu dan usir tetapi dibunuh, akan tatapi keadaan ini oleh haji Darip tidak disesalkan, akan tetapi ia pun mengerti akan dendam anak buahnya, lagi pula mereka dibunuh untuk tidak terbunuh, seperti dilaporkan oleh anak buah nya, jika Jepang- Jepang itu tidak dibunuh sudah pasti merekalah yang terbunuh karena Jepang mempunyai senjata api sedang mereka hanya mempunyai kekuatan fisik dan golok saja.

Sumur ditempat itu tidak ada yang mau minum air lantaran penuh bangke orang Jepang ”kata Haji darip. Demikian juga sungai sunter penuh dengan bangkai tentara Jepang.

MENGUMPULKAN SENJATA
H. Darip sudah berhasil mengerahkan rakyat yang dihimpun dan dipimpinnya untuk menghabiskan orang-orang Jepang yang bertugas di pinggiran. Kini otaknya mulai jalan. Kekuatan rakyat tak seberapa jika jika tidak dilengkapi dengan senjata.

Bagaimana pula caranya ia mendapatkan senjata? Lagi pula ia pun harus memikirkan perlengkapan logistik. Sen- jata dan persediaan makanan harus cukup jika Klender ingin melawan Jepang.

Kira-kira seminggu sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Haji Darip mendatangi camat Klender. Ia sudah sudah punya pemikiran dan rencana.

Pemikiran seorang pemimpin rakyat. Ia sudah tahu Indonesia bakal merdeka dan dia Hakkul Yakin bahwa Indonesia pasti merdeka. Berkatalah ia pada Camat!

“ Sekarang ente mau turut perintah siapa?” Dia bingung tak bisa jawab. Lalu saya katakan padanya bahwa segala pakaian rakyat yang bakal dibagikan jangan dikeluarkan sepotongpun. Wah, rakyat pada telanjang, pakai karung atau pakai pakaian karet. Tetapi pakaian bertumpuk di kecamatan. Saya suruh camat menyim 0pannya baik-baik, bakal rakyat nanti kalau saatnya tiba,”kata Haji Darip.

Ia juga mendatangi kantor polisi, masih kantor polisi di bawah kekuasaan Jepang. Komandannya juga ditanya, dia bakal turut perintah siapa. Sang Komandan polisi itu ketakutan. Pastilah di sudah mendengar kemasyuran nama Haji Darip yang mulai meng harum di Klender khususnya dan Jakarta pada umumnya. Ia bertanya kebingungan akan ada apa sebenarnya.

Memang pada masa itu rakyat Klender tak ada yang tahu bahwa Indonesia akan merdeka dan akan segera mem proklamirkan kemerdekaan.
Hanya Haji Darip yang tahu dan ia tutup mulut demi selamatnya semua rencana. Tetapi rakyat sudah ada di belakangnya dan mendukung semua gerak serta perintahnya. Kepada Komandan polisi Jepang itu pun (Komandannya orang Indonesia) ia tak mengatakan bahwa akan terjadi ini dan itu. Ia hanya meminta supaya senjata-senjata yang ada dikantor polisi jangan diserah kan kepada siapa-siapa, jangan diserahkan kepada jepang, melainkan harus diserahkan kepada rakyat nanti. Haji Darip cukup pandai dengan segala siasatnya. Ia menyuruh koman -dan polisi membuat pernyataan dan membubuhkan tanda tangannya untuk menyerah kan senjata kepada rakyat.

Dari situ Haji Darip pergi ke Seksi tujuh: “ Yang ada di situ adalah Darmatin dan Juhra anak Banten dan sukahar. Sukahar yang seka -rang Jenderal itu. Saya tak tahu waktu itu! Setelah berbicara dengan mereka akhirnya saya katakan bahwa apapun senjata yang ada di situ, granat atau lainnya, serahkan saja kepada rakyat. Mereka bertanya senjata itu akan diserahkan kepada siapa dan kapan. Apa sekarang? Saya katakan jangan sekarang tapi nanti.”

Kemudian Haji Darip menuju bui atau penjara Cipinang. Direkturnya diberi tahu hal yang sama dengan apa yang dikatakan pada Camat, Kepala polisi maupun Komandan Seksi VII. Pada saatnya pula nanti Haji Darip meminta agar para tahanan dilepaskan. Ia juga datang ke Seksi V dan melakukan hal yang sama.

Hari Proklamasi makin dekat dan keadaan makin panas saja. Tetapi dia telah mempersiapkan anak buah nya. Dia juga mendatangi gudang-gudang beras di Klender untuk memblokir beras yang ada jangan sampai dikeluarkan., jangan sampai pula keluar dari klender. Maka jadilah Klender wilayah pertahanan yang merupakan gudang makanan dan persenjataan ala kadarnya.

Ulama Asli Betawi yang Disegani para Habaib

Pada masa kekuasaan Prabu Siliwangi, kawasan Betawi disebut sebagai Sunda Kelapa di bawah kerajaan Pajajaran. Pada Masa kerajaan Islam, kawasan ini berada di bawah kendali Kesultanan Banten, sedangkan ketika Belanda datang, maka ia disebut sebagai Batavia.

Karena sebenarnya Batavia adalah sebuah kota baru (benar-benar dibangun baru) yang berupa kota benteng dengan meniru semacam kastil di Eropa, yakni terletak di sepanjang garis pantai yang sekarang disebut sebagai kawasan Kota dan Ancol, maka daerah-daerah pemukiman penduduk Asli yang bukan kawasan pesisir murni tetap berada dalam situasi sebagaimana asalnya, seperti sebelum benteng Batavia didirikan oleh Belanda. Yang membedakan hanyalah, statusnya yang terjajah dan penguasanya yang kejam serta kondisi kehidupan yang kian sengsara, selebihnya tetap utuh seperti adanya, mengaji dan bercocok tanam.

Betawi adalah sebuah kawasan yang sangat religius sebelum menjadi seperti yang kita kenali sekarang sebagai kawasan metropolitan dengan berbagai kesibukan pemerintahan, bisnis dan hiburan saat ini. Betawi adalah sebuah tempat yang khas dengan tradisi kesantrian yang berbeda dengan kawasan-kawasan lain di pulau Jawa, baik tanah Pasundan maupun wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tradisi kesantrian di Betawi sungguh sangatlah unik, karena masyarakat betawi umumnya tidak mengandalkan pesantren dengan asrama tinggal para santri dalam mendidik generasi penerusnya. Betawi memiliki tradisi mengaji yang sedemikian kuat terhadap para ulama di tempat tinggal yang berbeda-beda. Para santri pergi mengaji dan kemudian pulang kembali ke rumahnya begitu pengajian selesai. Mereka dapat berpindah-pindah guru mengaji menurut kecocokan masing-masing santri. Kondisi seperti ini berlangsung hingga tahun 1960-an. Biasanya jika mereka ingin meneruskan pendidikannya, biasanya mereka akan melanjutkan ke Timur Tengah, terutama ke Makkah.

Di tengah-tengah suasana penjajahan Belanda yang menjadikan kehidupan seluruh rakyat berada dalam kesulitan, terlahirlah seorang bayi mungil pertama dari pasangan suami istri Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini yang diberi nama Muhammad Syafi’i pada tanggal 31 Januari 1931 M. bertepatan dengan 12 Ramadhan 1349 H. di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Ayah Syafi’i adalah seorang Betawi asli, sedangkan ibunya berasal adari daerah Citeureup Bogor. Ayahnya adalah seorang pekerja pada perusahaan minyak asing di Sumatera Selatan. Dua tahun kemudian, setelah Syafi’i lahir, ayahnya pulang ke kampung halaman dan tidak pernah kembali lagi bekerja di perusahaan minyak asing. Ayahnya kemudian bekerja sebagai penarik bendi.

Ulama Betawi ini sejak kecil di asuh oleh kakeknya dari pihak ayah, yang merupakan seorang guru agama yang tinggal di daerah Batu Tulis XIII, Pecenongan yang bernama guru Husin. Karenanya, Syafi’i kecil juga didik sebagai guru agama. Kakeknya ini adalah seorang pensiunan pegawai percetakan yang tidak memiliki anak, sehingga sebenarnya, ia bukanlah kakek langsung, melainkan paman dari ayah Syafi’i. dengan demikian ia memiliki banyak waktu untuk mendidik syafi’i mengaji bersama dengan teman-temannya di samping berdagang kecil-kecilan untuki mengisi waktu senggang. Dari sini terlihat bahwa Syafi’i adalah anak yang cerdas dan ulet, ia tidak suka menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bersantai-santai saja.

Kakeknya ini sangat keras dalam mendidik anak-anak, sehingga dalam usia Sembilan tahun, Syafi’i telah berhasil menghatamkan al-Qur’an. Sejak kecil Syafi’i tidak pernah mengalami benturan dengan kakeknya. Meskipun kakeknya ini adalah orang kaya dan pensiunan pegawai percetakan, namun ia sama sekali tidak pernah mencita-citakan cucunya kelak menjadi seorang pegawai juga. Karenanya, kakeknya selalu mengajak Syafi’i ke tempat-tempat pengajian, kemana pun kakeknya ini mengaji. Sebagai seorang guru ngaji, kakeknya juga menginginkan cucunya belajar mengaji dan bergulat di bidang agama.

Sehingga teman-teman dan guru-guru kakeknya, secara otomatis juga menjadi guru langsung dari Syafi’i muda. Di antara teman-teman kakeknya ini adalah, Guru Abdul Fatah yang tinggal di daerah Batu Tulis. Juga kepada Bapak Sholihin di Musholla kakeknya, sehingga Musholla tempatnya mengaji ini kemudian dinamakan dengan Raudhatus Sholihin.

Menikah dan Terus Belajar
Sebagaimana kebiasaan masyarakat Betawi pada waktu itu, bahkan masyarakat Indonesia pada umumnya, maka Syafi’i juga menikah di usia muda, yakni tujuh belas tahun. Syafi’i menikahi gadis teman sepermainannya di Batu Tulis, seorang gadis bernama Nonon. Ketika menikah Syafi’i telah mengikuti neneknya pindah ke kawasan Kemayoran sepeninggal kakeknya.

Syafi’i yang sejak kecil memang sangat gigih dalam menuntut ilmu dan menjalani hidup yang serba dibatasi dalam didikan kakeknya, tek menjadikan pernikahan sebagai hambatan untuk terus mencari ilmu. Syafi’i menamatkan sekolah dasar pada tahun 1942 M. dan setelah kemerdekaan ia bekerja sebagai karyawan di RRI. Karena ia juga selalu membawa-bawa kitab-kitab bacaannya, maka ruang kerjanya yang di RRI juga berfungsi sebagai tempat muthala’ah.
Karena telah dewasa dan memiliki cukup ilmu, maka selain bekerja dan berumah tangga, Syafi’i juga mulai mengajar secara resmi. Berangsur-angsur kemudian ia sering dipanggil sebagai Muallim syafi’i, yang berarti Guru Syafi’i. Namun bukan berarti setelah mulai mengajar, ia berhenti berguru dan mengaji. Muallim Syafi’i tetap merupakan pribadi yang tawadhu’ dan senantiasa giat menuntut ilmu. Karenanya, ia tetap memiliki banyak guru yang aktif menyampaikan ilmu-ilmu agama kepadaya, selain telah mulai memiliki banyak murid.

Di antara guru-gurunya tersebut adalah, Habib Ali bin Husein al-Atthas, di Bungur kawasan Senen Jakarta Pusat; Ajengan KH. Abdullah bin Nuh, dari Cianjur Jawa Barat yang aktif berceraman di RRI; Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang Jakarta Pusat; KH. Ya’qub Saidi, Kebun Sirih Jakarta Pusat; KH. Muhammad Ali Hanafiyah: Pekojan Jakarta Barat; KH. Muhtar Muhammad, kebun Sirih; KH. Muhammad Sholeh Mushonnif, Kemayoran Jakarta Pusat; KH.Zahruddin Usman yang berasal dari Jambi; dan sederet ulama-ulama lain di seantero Jakarta, baik yang memang tinggal di Jakarta, maupun para ulama yang sedang bertugas di Jakarta. Syeikh Yasin bin Isa al-Fadani adalah salah satu guru dari Muallim Syafi’i, karena seringkali ketika Syeikh Yasin berkunjung ke Jakarta dan tinggal di tempat salah seorang temannya di Prapanca Jakarta Barat, Muallim Syafi’i selalu menyempatkan hadir di pengajian-pengajian yang di buka oleh Syeikh Yasin di sana.

Dari tata cara beginilah, mengajar sembari terus menuntut ilmu, Muallim Syafi’i mendarmabaktikan hidupnya untuk perkembangan islam di Jakarta. Lambat laun, nama muallim Syafi’i bertambah menjadi Syafi’i Hadzami. Ketika Beliau telah bergelut dengan masyarakat sela puluhan tahun, maka namanya kemudian menjadi salah satu tokoh terdepan di kehidupan umat Islam Jakarta. Murid-muridnya terdiri dari beragam usia, latar belakang profesi dan kesukuan. Hal ini terjadi seiring terus tergesernya dan perpindahan para penduduk asli Betawi dari kampong-kampung asal mereka. Sehingga pengajian-pengajian Muallim Syafi’i Hadzami yang dahulu ramai dikunjungi oleh penduduk suku Betawi, lambat laun juga dibanjiri oleh penduduk-penduduk pendatang yang beragam sukunya.

Kharisma dan Daya Tarik
Termasuk pula yang menjadi daya tarik pengajian Muallim Syafi’i Hadzami adalah karena pengajian-pengajiannya selalu juga dihadiri oleh para Kyai dan teman-teman seperjuangannnya. Bahkan banyak sekali para ulama yang dahulunya adalah guru-guru Muallim Syafi’i, kini menghadiri pengajian-pengajian Beliau sebagai murid atau pendengar.

Sejak awal, Muallim Syafi’i Hadzami telah mengajar ke berbagai majlis ta’lim. Pada tahun 1963, pada usia 32 tahun, Beliau membentuk sebuah Badan Musyawarah Majlis Ta’lim (BMMT) yang diberi nama al-’Asyirotus Syafi’iyyah. Badan ini kemudian berkembang menjadi sebuah Yayasan pada tahun 1975 yang mampu mendirikan sebuah komplek pesantren di kampung Dukuh, kebayoran lama, Jakarta Selatan. Pesantren ini kemudian berkembang mejadi sebuah lembaga pendidikan yang berhasil mengelola pendidikan dari tingkat TK hingga Aliyah. Di komplek pesantren inilah kemudian Muallim Syafi’i tinggal sepanjang usianya. Namun demikian pengajian-pengajian ke berbagai penjuru Jakarta tetp dilakoninya sepanjang hidup. Bahkan hampir-hampir tiada waktu luang untuk sekedar bersantai, karena kalaupun Muallim sedang tidak mengajar, maka Beliau pasti sedang Muthola’ah. Hal ini dikarenakan sedemikian cinta beliau kepada ilmu-ilmu agama. Bahkan karena cintanya ini, ruang tamu di rumahnya pun lebih mirip sebagai perpustakaan.

Gaya bicaranya datar-datar saja namun tertib dan jelas, cara berpakaiannya yang wajar-wajar saja, dan sikapnya yang tenang, serta pembawaannya yang sederhana, menjadikan Muallim disegani oleh seluruh ulama di betawi, baik dari kalangan habaib maupun para ulama Betawi Asli. Hal ini terutama sekali dikarenakan sikap Beliau yang sangat teguh dalam memegang prinsip-prinsip agama. Selain itu Muallim Syafi’i Hadzami juga terkenal sangat rendah hati dan mencintai para muridnya.

Menurut KH. Rodhi Sholeh, salah seorang Mustasyar PBNU yang mengenal Muallim Syafi’i Hadzami ini dalam sebuah pengajian di PWNU DKI Jakarta, Muallim Syafi’i Hadzami adalah sosok guru yang tidak suka menyombongkan diri meskipun Beliau sangat alim. Banyak orang-orang dari daerah yang merasa telah menjadi Betawi setelah kenal dengan beliau, karena Beliau sama sekali tidaklah membedakan mana orang-orang pendatang dari daerah dan mana orang-orang asli Jakarta.

Sementara KH. Irvan Zidni yang mengaku sering bertemu langsung di forum-forum Batsul Masail Muktamar PBNU mengakui bahwa Muallim Syafi’i Hadzami memberi bobot yang berbeda kepada ulama-ulama asal Jakarta, karena dalam forum-forum seperti itu, memang biasanya pendapat mereka sering ditolak. Namun keberadaan Muallim Syafi’i Hadzami mampu menepis kebiasaan ini. Muallim memang memiliki kemampuan keilmuan yang cukup untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya. Dalam arena batsul masail, kemampuannya sebanding dengan para ulama dari daerah-daerah lain yang sedari kecil menuntut ilmu di pesantren selama puluhan tahun, sehingga sangatlah sukar untuk meruntuhkan argumen-argumen Beliau.

Karya-Karya
Muallim Syafi’i Hadzami, selain mendarmabhaktikan seluruh aktivitasnya untuk kemajuan umat Islam, khususnya di daerah Jakarta, Beliau juga memiliki karya-karya tulis yang masih dapat dijadikan referensi hingga sekarang. Karya-karya Muallim hampir semuanya ditulis sebelum era 1980-an meski masih memiliki usia panjang hingga akhir 2006, namun tidak lagi ditemukan karya-karya yang merupakan buah tangan langsung Beliau pada era-1990-an. Beberapa buku memang kemudian banyak di terbitkan, terutama setelah tahun 2000 M. namun kesemuanya adalah kumpulan hasil transkripsi pidato-pidato Muallim, baik dalam pengajian-pengajian darat maupun pengajian-pengajian yang disiarkan melalui gelombang radio.

Karya-karya tersebut antara lain adalah Taudhihul Adillah yang menjelaskan tentang hukum-hukum syariat berikut dengan dalil-dalil dan keterangan-keterangannya; Sullamul Arsy fi Qiro’atil Warsy yang menjelaskan tentang seluk beluk bacaan bacaan al-Qur’an menurut Imam Warsy, kitab ini disusun pada tahun 1956 M. saat berusia 25 tahun.

Sementara karya-karya lain biasanya berupa penjabaran tentang suatu permasalahan, seperti penggalan-penggalan sebuah permasalahan hokum dan ibadah-ibadah tertentu. Karya-karya jenis ini antara lain, Qiyas adalah Hujjah Syariah (1969 M.); Qabliyyah Jum’at; Shalat tarawih; Ujalah Fidyah Sholat (1977 M.) dan Mathmah ar-Ruba fi Ma’rifah ar-Riba (1976 M.).

Muallim dan Kitab Kuning
Hingga usia senjanya, hari-hari Muallim Syafi’i Hadzami senantiasa diisi dengan mengajar berpindah-pindah, dari satu majlis ta’lim ke majlis ta’lim lain. Meskipun lembaga pendidikan yang didirikannya kini telah berkembang dan mapan, namun Beliau senantiasa membagi waktunya untuk ummat secara merata.

Kenyataan ini menjadikan hari-hari Muallim senantiasa berjibaku dengan kitab kuning, sebab pengajian-pengajian Muallim Syafi’i Hadzami tidak pernah lepas dari kitab kuning. Di sini Beliau tampak menekankan betapa tradisionalisme adalah sebuah watak perjuangan yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja.
Dalam pandangan Muallim, kitab kuning merupakan dasar bagi pemahaman umat Islam untuk memahami sumber hukum asal syariat.

Ini berarti bahwa dalam pandangan Syafi’i Hadzami, sebuah kesalahan fatal apabila mencoba memahami al-Qur’an dan hadits secara langsung tanpa mengerti pandangan dari para ulama terlebih dahulu. Syafi’i Hadzami meyakini bahwa kitab kuning masih selalu relevan dan selalu menawarkan hal-hal baru bagi masyarakat Muslim. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa Muallim Syafi’i sangat mengikuti perkembangan kitab kuning. Artinya pembacaan dan oleksi kitab-kitab kuningnya boleh dibilang up to date. Memang Muallim Syafi’i Hadzami sangat banyak mengoleksi kitab-kitab kuning yang beraneka ragam, mulai klasik, modern hingga kontemporer.

Karena telah mengenyam manfaat yang demikian besar dari kitab kuning, maka Muallim memiliki kiat-kiat jitu untuk dapat menguasai kitab kuning dengan benar, dengan arti yang sebenarnya. Menurut Muallim, hal pertama-tama yang semestinya dilakukan oleh para santri yang mempelajari kitab kuning adalah menguasai ilmu-ilmu alat, hingga masalah yang sekecil-kecilnya. Ini berarti seorang pembaca kitab kuning haruslah memahami lughat. Artinya harus mengenal lughat yg berbeda-beda, serta harus memiliki rasa penasaran yang tinggi kepada ilmu-ilmu perbandingan madzhab, sehingga tidak kaku dalam memberikan fatwa atau memandang suatu permasalahan hukum.

Hal ini jelas sangat terlihat dari aktivitas-aktivitas muallaim yang bukan hanya di MUI DKI Jakarta saja, melainkan juga di NU. Muallaim sangat rajin menghadiri batsul masail-batsul masail, dan rapat pleno-rapat pleno yang diadakan oleh PBNU, terutama yang diadakan di Jakarta. Hingga pada muktamar NU ke 29 di Cipasung, Tasikmalaya, Muallim Syafi’i Hadzami dipercaya menjadi salah satu Rois Suriah PBNU. Hal ini tentu saja merupakan pengakuan keilmuan dan keulamaan dari NU mengingat jarang sekali ada ulama dari Batawi yang dipercaya untuk menduduki posisi ini.

Karisma keulamaan dalam diri Muallim Syafi’i Hadzami memancar bukan hanya di Indonesia. Kedalaman ilmu Muallim juga dikenal hingga Mekkah dan Hadramaut. Hal ini nampak dari seringnya muallim mendapat kunjungan dari beberapa ulama dan para Habaib dari Hadramaut.

Ba’da mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad, tepatnya tanggal 07 mei 2006 M. Muallaim Syafi’I Hadzami merasakan nyeri di dada dan sesak napas. Muallim berpulang ke rahmatullah dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP). Linangan air mata mengalir mengantarkan kepergian sang guru yang sangat dicintai oleh seluruh penduduk Jakarta ini.

H.Enthong Gedut Pahlawan Betawi Era Pra Kemerdekaan

Selama kurun waktu ratusan tahun penjajahan
Belanda terhadap nusantara telah menciptakan perlawanan bersenjata dan
berdarah dari putra-putri terbaik bumi khatulistiwa yang kemudian
dikenal sebagai bangsa Indonesia. Puluhan suku bangsa di Indonesia
secara berkesinambungan melakukan perlawanan bersenjata menentang
kolonialisme Belanda. Perlawanan berupa peperangan baik frontal maupun
gerilya telah dilakukan diawal kehadiran Belanda ( VOC ) pada permulaan
abad 17 sejak zaman Pangeran Jayakarta, Sultan Agung, Sultan
Hasanuddin, Sunan Mas, Trunojoyo, Untung Surapati, Imam Bonjol,
Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Pattimura, Cut Nyak Dien, Teuku
Umar hingga awal abad 20 dimana Sisingamaraja memberikan perlawanan
bersenjata terakhir dibumi nusantara. Setelah itu dilanjutkan dengan
era perlawanan terhadap Belanda dilakukan secara intelektual dan
gerakan politik oleh para tokoh pergerakan nasional yang berujung pada
perang kemerdekaan 1945-1949. Tak banyak tercatat dalam sejarah
nasional tentang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang terjadi
di bumi Jayakarta atau tanah Betawi. Padahal tak sedikit perlawanan
yang dilakukan oleh ”penduduk inti’ ibukota Jakarta dimasa silam. Meski
skala perlawanannya hanya bersifat sporadis. Berikut ini adalah
catatan tentang aksi heroik pendekar-pendekar Betawi terhadap kekuasaan
kolonialisme Belanda.


H. ENTONG GENDUT

Tak lama
setelah Vereenidge Oost Indische Compagnie atau VOC yang merupakan
perusahaan multinasional (Kongsi Dagang) klasik diabad pertengahan
milik Belanda menguasai pelabuhan Sunda Kelapa dan meratakan Istana
Adipati (Pangeran) Jayakarta setelah perang singkat ditahun 1619, maka
kekuasaan kolonial Eropa secara bertahap mulai ditegakkan dibumi
nusantara yang kaya. Namun kekuasaan itu tak mutlak menguasai tanah
Betawi yang terserak luas dari tepi kali Cisadane (Barat) hingga tepi
kali Citarum (timur) maupun kedaerah yang lebih selatan hingga kawasan
Gunung Putri. VOC lebih memfokuskan diri untuk menguasai terlebih
dahulu kerajaan-kerajaan diluar Tanah Betawi yang diberi nama baru oleh
Belanda yakni Batavia. Peperangan besar kemudian terjadi dan tercatat
dalam sejarah. VOC berperang hebat dengan Kesultanan-kesultanan
Mataram, Makassar, Palembang, Martapura, Riau, Banjarmasin, Lombok,
Kerajaan Bali, Ulama Minangkabau, hingga Aceh. Selain itu juga sibuk
memerangi pemberontakan Trunojoyo dan Untung Surapati. Ditengah
ekspedisi militer VOC itulah, tercipta pula perlawanan-perlawanan lokal
di Tanah Betawi, seperti yang dilakukan oleh Entong Gendut. Seorang
Jawara dari Condet. Entong Gendut adalah seorang petani biasa namun
juga dikenal sebagai seorang pendekar Betawi yang mempunyai kedigjayaan
diatas rata-rata.

Awal dan Jalannya Perlawanan
Prihatin
akan penderitaan rakyat Condet yang saat itu ditindas oleh kekuasaan
Belanda dan para tuan tanah maka tergeraklah Entong Gendut untuk
melakukan perlawanan. Aksi heroik petani ini diawali oleh kebijakan VOC
yang meminta penduduk untuk membayar upeti (pajak) atas hasil bumi dan
tanah garapan para petani Condet. Jika tak mampu membayar maka akan
disita kekayaannya atau disiksa dan ditahan dalam penjara. Tentu saja
hal ini menjadikan penduduk Condet yang miskin semakin menderita, namun
mereka tak kuasa untuk menolak. Melihat hal ini, maka Entong Gendut
mengumpulkan para tokoh ulama dan pendekar Condet guna menentang
kebijakan yang menyengsarakan orang banyak itu. Ajakan tersebut
mendapatkan dukungan dari kalangan ulama, jawara dan tokoh-tokoh
lainnya. Dengan dilandasi oleh semangat anti penindasan serta
kolonialisme serta didukung oleh keberanian dan kemantapan tekad, maka
Entong Gendut dan para tokoh Condet lainnya meminta penduduk untuk
tidak membayar pajak terhadap VOC yang begitu kuat menguasai Batavia
saat itu. Ajakan tersebut mendapat sambutan sebagian besar petani
Condet dan mendukung gerakan Entong Gendut, meski pada awalnya sempat
merasa ketakutan akan ditangkap dan disiksa oleh Marsose (polisi khusus
Belanda). Sadar akan resiko yang dihadapi dalam langkah perjuangannya
itu, maka Entong Gendut pun menyiapkan barisan perlawanan yang terdiri
dari para jawara dan petani. Pemerintahan VOC tentu saja tak tinggal
diam, tentaranya pun dikerahkan untuk menangkapi para petani
pembangkang. Maka hasilnyapun dapat ditebak, banyak tokoh-tokoh
penggerak penentangan bayar pajak itu yang ditangkapi dan dipaksa
membayar upeti jika tidak sisksaan dan penjara menanti. Salah satu
tokoh perlawanan petani Condet yang ditangkap dan disiksa Belanda
adalah Bang Latip, kawan karib Entong Gendut. Latip disiksa hebat dan
direndam dirawa-rawa Asem Baris yang penuh lintah selama
berhari-hari (daerah itu sekarang menjadi pool Taxi Gamya). Namun
tatkala para Marsose Belanda hendak menangkap Entong Gendut, mereka
mengalami kegagalan. Satu persatu serdadu bayaran itu tumbang atau
terluka akibat sabetan golok dan pukulan silat pendekar Condet ini
beserta anak buahnya. Berkali-kali upaya itu dilakukan namun berulang
kali pula kegagalan didapat. Tak heran jika hanya kegagalan yang
diperoleh. Sebab Entong Gendut adalah seorang pendekar Betawi yang
tangguh dan sakti. Ia mempunyai ilmu halimunan (menghilang) dan kebal
peluru.


Berlarutnya penumpasan aksi perlawanan Entong Gendut
karena selain ia memiliki kesaktian juga didukung oleh sebagian besar
petani Condet. Akibatnya banyak pula petani yang menjadi korban
kebrutalan Marsose yang kalap. Aksi polisionil Belanda tak lagi
menangkapi para penggerak perlawanan tapi juga terhadap penduduk yang
tak berdosa. Melihat itu Entong Gendut pun semakin meningkatkan
perlawanannya. Daerah Condet pun membara dan api perlawanan meluas
hingga kedaerah sekitarnya, Kramat Djati, Tjililitan hingga Kalibata
dan Pasar Minggu. Dimana-mana nama Entong Gendut menjadi buah bibir
masyarakat dan petinggi kolonial Belanda hingga ke Batavia.
Perlawananpun tak lagi bersifat pasif, tetapi mulai aktif dengan
penyerangan barisan petani dan pendekar terhadap kepentingan Belanda.
Gudang-gudang hasil bumi, kantor polisi, rumah-rumah tuan tanah kaki
tangan Belanda pun diserang petani yang marah. Pun demikian sebaliknya,
Belanda tak segan-segan menembaki petani yang dianggapnya memberontak.
Keadaan makin tak terkendali, hingga akhirnya para pembesar VOC pun
merasa perlu mendatangkan bala tentara yang lebih besar.
Satu detasemen kavalery ( pasukan berkuda ) Belanda didatangkan
dari Bekasi, untuk
memadamkan pemberontakan para petani Condet.

Mereka berkedudukan di Ciliitan Besar, satu areal yang tak jauh dari
pusat perlawanan petani Condet, suatu daerah pertanian & perkebunan
yang subur karena berada diatas lembah sungai Ciliwung. Kehadiran
pasukan tambahan ini menjadi semangat baru bagi pasukan Belanda di
Condet. Dan aksi-aksi penyergapan pun semakin massif dilakukan. Namun
kehadiran pasukan dari Bekasi itu tak menyurutkan perlawanan Entong
Gendut, yang membangun kubu perlawanannya di Bale Kambang.



Gugurnya Entong Gendut
Suatu
ketika, Belanda menggerakkan pasukannya besar-besaran menyusuri kali
Ciliwung kearah selatan. Tujuannya adalah menyerang Bale Kambang yang
merupakan basis perlawanan Entong Gendut. Sergapan tiba-tiba itu tak
ayal membuahkan satu pertempuran yang hebat, bedil-bedil marsose
berdesingan ditingkahi teriakan dan sabetan golok para petani dan
pendekar Condet. Para pejuang pun berlarian mendekati pertahanan
Belanda hingga pertarungan jarak dekat terjadi. Meski banyak korban
jatuh, bukan alasan bagi Entong Gendut dan para petani Condet yang
marah untuk mengejar serdadu Belanda. Takut dengan aksi nekat para
pejuang, maka satu-persatu pasukan Marsose melarikan diri. Barisan
penyerangan Belanda pun menjadi kocar-kacir. Sebagian besar berlari dan
kemudian berenang menyeberangi kali Ciliwung dan ada pula yang menaiki
rakit. Langkah ini diambil mengingat diseberang kali – yang masih luas
saat itu – kubu pertahanan Belanda dibangun diantara rerimbunan
pepohonan yang mengarah ke Pasar Minggu. Saking semangatnya Entong
Gendut pun turut mengejar menyeberangi kali Ciliwung tanpa menyadari
bahaya yang mengancam. Para pejuang Condet yang lain memperingatkan
pendekar ini agar tak menyeberangi sungai Ciliwung, karena mengetahui
bahwa disitulah titik lemah tokoh pejuang Condet. Konon, kesaktian
Entong Gendut akan luntur jika ia menyeberangi Kali Ciliwung. Namun
peringatan itu tak digubrisnya. Maka tak ayal begitu menjejakkan kaki
di tepi sungai, berondongan peluru Marsose pun menyalak dan sedetik
kemudian merobek tubuhnya. Belanda tampaknya memang sengaja menjebak
Entong Gendut karena sebelumnya telah mendapatkan informasi dari para
pengkhianat bahwa kesaktian Entong Gendut akan hilang jika menyeberangi
Kali Ciliwung. Kemudian disusunlah strategi penyerangan itu, dengan
sengaja membiarkan kekalahan di Bale Kambang dan kemudian lari
menyeberangi sungai hingga memancing aksi pengejaran Entong Gendut dan
kemudian menjebaknya diseberang sungai. Tubuh perkasa Entong Gendutpun
roboh tersungkur ke bumi bersama menyusul kemudian sekitar dua ratus
pejuang lainnya yang tewas dalam pertempuran di Bale Kambang tersebut.
Kemudian oleh pasukan Marsose jasad Entong Gendut segera dibungkus dan
dibawa ke Rumah Sakit Belanda di Kramat Djati (kini menjadi RS Polri)
untuk disemayamkan. Tindakan ini diambil agar jasad pahlawan Betawi ini
tak jatuh ketangan rakyat dan dikhawatirkan akan membangkitkan
emosional rakyat Condet.


Pelopor Perlawanan Fisik Orang Betawi Terhadap Kolonial
Berita gugurnya Entong Gendut menjadikan penduduk Condet, dan daerah
sekitarnya seperti Djati lama dan Djati baru berkabung. Namun anehnya,
saat akan dikuburkan, jasad Entong Gendut raib bak hilang ditelan bumi.
Pihak Belanda pun panik dan menelusuri setiap rumah penduduk dan setiap
jengkal tanah Condet guna mencari jasad pahlawan itu. Hingga akhirnya
tak diketemukan, dan sampai saat ini pun tak diketahui dimana makam
pejuang Betawi itu. Perlawanan Entong Gendut terus diceritakan
dari generasi ke generasi dan hidup
dalam dada setiap pejuang
Betawi dan kematiannya tak menyurutkan langkah perlawanan para jawara
dan ulama Betawi sesudahnya. Tercatat di daerah Condet dan sekitarnya
perlawanan terhadap Belanda tak surut, Habib Muhsin, habib Muhammad
Al-Attas, Bang Jamang, Bang Awab, Pitung, Mat Ronda, Mat Sabeni, Mat
Item dan lain-lain bermunculan disetiap pelosok Tanah Betawi. Meski
skala perlawanannya tak lagi bersifat massal dan frontal. Entong Gendut
adalah pelopor perlawanan fisik Orang Betawi terhadap kolonialisme
Belanda, ditengah perlawanan pasif seperti menolak sistem pendidikan
Belanda, menolak agama Belanda, menolak bekerja dalam pemerintahan
kolonial dan menolak semua yang berbau Belanda itulah yang kemudian
menjadi ciri perlawanan mayoritas Orang Betawi terhadap eksistensi
kekuasaan Belanda di Bumi Jayakarta ini selama ini.

PAHLAWAN & ULAMA DARI BETAWI (Muhammad Mansur Al Batawie)

Muhammad Mansur Al Batawie yang biasa disebut Guru Mansur dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta tahun 1295 Hijriah/ 1878 Masehi. Beliau wafat pada tahun 1967 Masehi. Ayahnya bernama Kyai Haji Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Pada zaman Haji Hamid ini banyak pemuda-pemudi betawi yang belajar masalah-masalah agama kepadanya, termasuk Guru Mansur yang banyak belajar dan dididik langsung oleh ayahnya.

Sejak kecil Guru Mansur sudah mulai tertarik dengan ilmu hisab atau ilmu falak, disamping ilmu-ilmu agama lainnya. Sesudah ayahnya meninggal, Guru Mansur belajar dari kakak kandungnya Kyai Haji Mahbub dan kakak misannya Kyai Haji Tabrani. Guru Mansur juga pernah belajar kepada seseorang ulama dari Mester Cornelis bernama Haji Mujtaba bin Ahmad sebelum pergi ke Mekah pada usia 16 tahun dan belajar di sana selama empat tahun. Selama di Mekah ia berguru kepada sejumlah ulama, antara lain:

* Syekh Mukhtar Atharid Al Bogori
* Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami
* Syekh Ali Al Maliki
* Syekh Said Al Yamani
* Syekh Umar Sumbawa, dll.

Setibanya di kampung halaman, ia mulai membantu ayahnya mengajar di rumah. Bahkan ia sudah ditunjuk seabagai pengganti sewaktu-waktu ayahnya berhalangan. Selain mengajar di tempatnya, beliau juga mengajar di Madrasah Jam’iyyah Khoir, Pekojan pada tahun 1907 Masehi. Kemudian diangkat menjadi penasehat syar’i dalam organisasi Ijtimak-UI Khoiriyah. Pada tahun 1915, Guru Mansur diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan-Betawi dan pernah juga menjabat sebagai Rois Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya Kyai Haji Hasyim Asy’ari.

Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama. Sebagai sasaran penunjang cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan pesantren, serta majlis taklim.

Menurut informasi dari Kyai Haji Fatahillah (cucu Guru Mansur), tak ada ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru Mansur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan. Beberapa hasil karya tulisnya berkaitan dengan ilmu falak (astronomi islam) antara lain:

* Sullamun Nayyiroin
* Khulasatul Jawadil
* Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf
* Mizanul I’tidal
* Jadwal Dawaa’irul Falakiyah
* Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal
* Rub’ul Mujayyab
* Mukhtashor Ijtima’un Nayyiroin

Ilmu Falak & Perlawanan terhadap Penjajah

Guru Mansyur mendalami ilmu falak karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan hari lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, maka pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita itu kepada mesjid terdekat. Mesjid terdekat memukul bedug bertalu-talu tanda esok lebaran tiba. Kanak-kanak yang mendengar bedug bergembira, lalu mereka berlarian ke jalan raya sambil bernyanyi lagu dalam bahasa Sunda.

Lebaran Tong lebaran
Iraha Tong iraha
Isukan Tong isukan

Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui bedug. Akibatnya lebaran dirayakan dalam waktu yang berbeda.

Guru Mansyur memahami permasalahan ini. Karena itu Guru Mansyur mendalami ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab lebaran akan jatuh dua hari lagi, umpamanya.

Dalam adat Betawi Guru orang yang sangat alim, ilmunya tinggi, menguasai kitab-kitab agama, dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas Guru dato’. Dato’ lebih dari Guru, dan Dato’ menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah Guru mu’alim. Mu’alim ilmunya masih di bawah Guru. Di bawah Mualim ustadz. Ustadz pengajar pemula agama. Di bawah Ustadz guru ngaji. Guru ngaji mengajar mengenal huruf Arab.

Guru Mansyur terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Mansyur memerintahkan agar di menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda memerintahkan bendera diturunkan, Guru Mansyur menolak. Tentara Belanda menembaki menara mesjid. Guru Mansyur tidak berubah pendirian.

Melihat kekerasan hati Guru Mansyur, Belanda bertukar siasat. Belanda menyerahkan hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru Mansyur langsung menolak sambil berkata: “Gue kagak mau disuruh ngelonin kebatilan”

Guru Mansyur pemberani, namun hatinya mulia.
Guru Mansyur wafat pada tanggal 12 Mei 1967.
Jenasahnya dimakamkan di halaman mesjid Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan pesannya: “Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat”.

PAHLAWAN DARI BETAWI (Abdulrahman Saleh)



 Bapak Karbol Indonesia

Komodor Udara Abdulrahman Saleh, yang akrab di panggil Pak Karbol, buka saja seorang Perwira Tinggi, Pendidik, dan Pahlawan/Perintis TNI Angkatan Udara, tetapi juga perintis/pendiri Radio Republik Indonesia (RRI).

Pak Karbol yang juga di pakai untuk sebutan Taruna/Kadet Akademi Angkatan Udara (AAU), menjadi Karbol AAU, karena keahliannya dibidang komunikasi radio dan sebagai angkasawan radio ikut pula tergabung dalam pembentukan RRI pada tanggal 11 September 1945.

Komodor Udara Dr. Abdulrahman Saleh menjadi pimpinan delegasi angkasawan radio menghadap Presiden Sukarno. Delegasi menyampaikan himbauan kepada Presiden agar menggunakan sarana komunikasi radio sebagai alat komunikasi palih ampuh untuk mencapai rakyat dengan cepat dan luas jangkauannya. Bahkan Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrahman Saleh ditunjuk sebagai Pemimpin Umum RRI.

Sejarah TNI Angkatan Udara

sejarah lahirnya TNI AU bermula dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada Tanggal 23 Agustus 1945, guna memperkuat Armada Udara yang saat itu sangat kekurangan pesawat terbang dan fasilitas-fasilitas lainnya. Sejalan dengan perkembangannya berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan nama TKR jawatan penerbangan di bawah Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma.

Pada tanggal 23 Januari 1946 TKR ditingkatkan lagi menjadi TRI, sebagai kelanjutan dari perkembangan tunas Angkatan Udara, maka pada tanggal 9 April 1946, TRI jawatan penerbangan dihapuskan dan diganti dengan Angkatan Udara Republik Indonesia, kini diperingati sebagai hari lahirnya TNI AU yang diresmikan bersamaan dengan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Salah satu Sejarah monumental yang selalu diperingati jajaran TNI AU tiap tahun adalah apa yang dinamakan Hari Bhakti TNI AU. Peringatan Hari Bhakti TNI AU, dilatar belakangi oleh dua peristiwa yang terjadi dalam satu hari pada 29 Juli 1947. Peristiwa Pertama, pada pagi hari, tiga kadet penerbang TNI AU masing-masing Kadet Mulyono, Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutarjo Sigit dengan menggunakan dua pesawat Cureng dan satu Guntei berhasil melakukan pengeboman terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda di tiga tempat, masing-masing di kota Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.

Peristiwa Kedua, jatuhnya pesawat DAKOTA VT-CLA yang megakibatkan gugurnya tiga perintis TNI AU masing-masing Adisutjipto, Abdurahman Saleh dan Adisumarmo. Pesawat Dakota yang jatuh di daerah Ngoto, selatan Yogyakarta itu, bukanlah pesawat militer, melainkan pesawat sipil yang disewa oleh pemerintah Indonesia untuk membawa bantuan obat-obatan Palang Merah Malaya.

Penembakan dilakukan oleh dua pesawat militer Belanda jenis Kittyhawk, yang merasa kesal atas pengeboman para kadet TNI AU pada pagi harinya. Untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan ketiga perintis TNI AU tersebut, sejak Juli 2000, di lokasi jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA (Ngoto) telah dibangun sebuah monumen perjuangan TNI AU dan lokasi tersebut juga dibangun tugu dan relief tentang dua peristiwa yang melatar belakanginya. Di lokasi monumen juga dibangun makam Adisutjipto dan Abdurachman Saleh beserta istri-istri mereka.

PESAWAT MERAH PUTIH PERTAMA

Hari itu 27 Oktober 1945, sehari menjelang peringatan 17 tahun Sumpah Pemuda, di Pangkalan Maguwo, Yogyakarta terlihat ada kesibukan. Nampak para teknisi sedang berada di sekitar sebuah pesawat Cureng yang bertanda bulat Merah Putih, mempersiapkan segala sesuatunya untuk sebuah penerbangan yang direncanakan. Mereka menginginkan sebuah pesawat Merah Putih terbang hari itu, untuk membangkitkan Sumpah Pemuda.

Komodor Udara Agustinus Adisutjipto, yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Adi, adalah satu-satunya penerbang Indonesia yang berada di Pangkalan Maguwo. Hari itu, Pak Adi akan terbang bersama Cureng Merah Putih. Upaya itu membawa hasil.









Pak Adi membawa terbang Pesawat Cureng Merah Putih tersebut berputar-putar di Angkasa Pangkalan Maguwo disaksikan dengan rasa kagum oleh seluruh anggota pangkalan yang berada dibawah. Itulah awal mula sebuah pesawat Indonesia bertanda Merah Putih terbang di angkasa Indonesia yang merdeka.

PAHLAWAN DARI BETAWI ( Ismail Marzuki )



Komponis Pejuang Legendaris

Komponis pejuang dan maestro musik legendaris ini dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI, dalam rangkaian Hari Pahlawan 10 November 2004 di Istana Negara. Dia dikenal sebagai pejuang dan tokoh seniman pencipta lagu bernuansa perjuangan yang dapat mendorong semangat membela kemerdekaan.

Ismail Marzuki kelahiran kampung Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1914 ini menciptakan sekitar 250 lagu. Karya-karyanya sampai hari ini masih sering terdengar, antara lain Juwita Malam, Sepasang Mata Bola, Selendang Sutera, Sabda Alam, dan Indonesia Pusaka.

Pada tahun 1931, Maing-- sapaan akrab Ismail Marzuki-- memulai menciptakan lagu "O Sarinah'' yang menggambarkan suatu kondisi kehidupan bangsa yang tertindas. Lagu-lagu ciptaannya antara lain Rayuan Pulau Kelapa yang dicipta tahun 1944, Gugur Bunga (1945), Halo-Halo Bandung (1946), Selendang Sutera (1946), Sepasang Mata Bola (1946), dan Melati di Tapal Batas (1947).

Komponis pelopor yang wafat 25 Mei 1958, ini telah melahirkan lagu-lagu kepahlawanan, yang menggugah jiwa nasionalisme. Maestro musik ini menyandang predikat komponis pejuang legendaris Indonesia.

Sejak tahun 1930-an hingga 1950-an, dia menciptakan sekitar dua ratus lima puluh lagu dengan berbagai tema dan jenis aliran musik yang memesona. Hingga saat ini, lagu-lagu karyanya yang abadi masih dikenang dan terus berkumandang di masyarakat. Dalam dunia seni musik Indonesia, kehadiran putra Betawi ini mewarnai sejarah dan dinamika pasang surutnya musik Indonesia.

Sebagai komponis, dia dikenal produktif dan pandai melahirkan karya-karya yang mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat. Dalam bermusik, dia mempunyai kebebasan berekspresi, leluasa bergerak dari satu jenis aliran musik ke jenis aliran musik yang lain. Ia juga punya kemampuan menangkap inspirasi lagunya dengan beragam tema.

Keterpesonaan Ismail Marzuki pada sisi-sisi romantisme masa perjuangan melahirkan lagu-lagu bertema cinta dan perjuangan. Meski lagu-lagu karyanya tampak sederhana, syairnya sangat kuat, melodius, dan punya nilai keabadian.

Lagu-lagunya hingga sekarang masih tetap hidup dan disukai tua dan muda seperti Sepasang Mata Bola, Selendang Sutra, Melati di Tapal Batas, Aryati, Jangan Ditanya ke Mana Aku Pergi, Payung Fantasi, Sabda Alam, Kopral Jono, dan Sersan Mayorku.

Gelar pahlawan nasional dianugerahkan kepadanya bersama lima putra terbaik bangsa lainnya, yakni Maskoen Soemadiredja, Andi Mappanyukki, Raja Ali Haji, KH. Achmad Ri'fai, dan Gatot Mangkoepradja. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan 10 November, di Istana Negara Rabu (10/11/2004).

Ismail Marzuki memang seorang komponis besar yang sampai saat ini boleh jadi belum ada yang dapat menggantikannya. Karena itu, memang sudah layak diberikan penghormatan padanya sebagai pahlawan nasional.

Karya-karya Ismail Marzuki memang kaya, baik soal melodi maupun liriknya. Ia pun mencipta lagu dengan bermacam warna, salah satunya keroncong, di antaranya Bandung Selatan di Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda.

PAHLAWAN DARI BETAWI (Muhammad Husni Thamrin)

Pahlawan Nasional Mohammad Husni Thamrin, telah banyak berjasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Termasuk jasa-jasanya ikut merintis ikatan persatuan dan kesatuan di antara anak bangsa agar tidak terpecah belah. Jejak langkah putra terbaik bangsa ini perlu dijadikan suri teladan bagi generasi penerus masa kini. Mohammad Husni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi setelah bupati. Ia masuk sekolah Belanda, fasih berbahasa ini, mampu berdebat dengan baik. Memulai karier sebagai pegawai magang di Residen Batavia dan pegawai klerk di perusahaan pelayaran KPM, MH Thamrin duduk di Dewan Kota (Gemeenteraad, 1919-1941) lalu di Dewan Rakyat (Volksraad, 1927-1941).

Dua modus perjuangan
Perjuangan melawan Belanda dilakukan kaum pergerakan dengan dua modus, yaitu bersedia bekerja sama dengan pihak kolonial atau tidak. Bila dwitunggal Soekarno-Hatta disebut perpaduan Jawa-luar Jawa serta gabungan orator ulung dengan administrator andal, pasangan Thamrin-Soekarno dilihat sejarawan Bob Hering sebagai paduan modus perjuangan secara kooperatif dengan nonkooperatif.
Selama ini kata "kooperatif" memiliki konotasi kurang positif. Orang lebih menghargai tokoh yang berjuang secara non-koo. Namun, kedua jalur itu saling melengkapi perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan. Bahkan dari tahun 1933 sampai 1942 saat pergerakan Soekarno-Hatta-Sjahrir terkesan mandek, justru Thamrin tetap bergerak dengan bersemangat di Volksraad. Thamrin sering disebut satu napas dengan Bung Karno. Ia hadir saat Soekarno diadili, kala dijebloskan ke penjara, saat Bung Karno dibuang ke Ende. Belanda menghukum Thamrin dengan tahanan rumah justru setelah Soekarno berkunjung ke rumahnya. Dengan demikian, Thamrin menjadi tali penghubung (trait d’union) kelompok pergerakan yang kooperatif dan nonkooperatif, juga antara kelompok pergerakan dengan Volksraad.
Bila Bung Karno berpidato soal makro, seperti falsafah dan ideologi negara, Thamrin menukik kepada persoalan mikro, seperti kampung yang becek tanpa penerangan dan masalah banjir. Ia memprotes mengapa perumahan elite Menteng yang diprioritaskan pembangunannya, sedangkan kampung kumuh diabaikan. Ia mempersoalkan harga kedelai, gula, beras, karet rakyat, kapuk, kopra, dan semua komoditas yang dihasilkan rakyat. Ia berbicara tentang pajak dan sewa tanah. Bersama anggota lain di Volksraad, Thamrin mempertanyakan anggaran pertanian yang hanya 57 juta gulden, sedangkan angkatan darat, laut, dan polisi 174 juta gulden. Ia sering kalah dalam pemungutan suara, tetapi tetap mengajukan mosi bila ada aturan Pemerintah Hindia Belanda yang merugikan perjuangan kaum pergerakan. Thamrin memang kooperatif, tapi tidak berdasar loyalitas Belanda. Ia tahu persis bagaimana beroposisi secara santun. Kaum Betawi yang didirikan tidak begitu berkembang. Walau tanpa organisasi politik, ia mampu meniti karier politik di Dewan Rakyat. Thamrin bukanlah kooperatif tanpa reserve. Ia memiliki prinsip, sebagai tercermin dalam pernyataannya "Nasionalis kooperatif dan nonkooperatif memiliki satu tujuan bersama yang sama-sama yakin pada Indonesia Merdeka! Jika kami kaum kooperator merasa bahwa pendekatan kami tidak efektif, maka kami akan menjadi yang pertama mengambil arah kebijakan politik yang diperlukan." (Handelingen Volkraad, 1931-1932). Menurut surat kabar Bintang Timur (15/07/1933), Thamrin adalah kampiun kaum nasionalis di Volksraad yang tak diragukan, yang berani mengingatkan pemerintah dalam banyak isu penting. Koran Adil 17 Juli 1933 mengungkapkan, Thamrin selalu menyampaikan pidato dengan argumen yang tepat, yang membuat darah tukang lobi anti-Indonesia Merdeka, seperti Fruin dan Zentgraaff jadi mendidih.Thamrin menggunakan kesempatan secara brilian untuk menarik perhatian sungguh-sungguh terhadap apa yang "sebenarnya hidup dalam kalbu pergerakan seluruhnya". Thamrin berbicara tentang kebenaran dan melakukan pekerjaan sepenuh hati dalam situasi begitu sulit bagi pergerakan. Dalam berdebat yang penting argumen kuat, Thamrin sendiri tidak pernah menggunakan kata-kata tajam dan keras. Ada sebuah pernyataan MH Thamrin yang disampaikan 70 tahun silam, namun masih terasa kebenarannya sampai sekarang meski pemerintah telah gonta-ganti: "Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum." (Handelingen Volksraad, 1930-1931).

Tak kibarkan bendera Belanda
Meski pada mulanya dipandang sebagai tokoh kooperatif, pada akhirnya hayatnya justru Thamrin dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Thamrin tidak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya pada ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1940. Dalam suatu kesempatan, ia juga mempelesetkan JINTAN, obat kumur murah buatan Jepang, menjadi "Jenderal Japan Ini Nanti Toeloeng Anak Negeri". Selain itu, tokoh Jepang Kobajashi dipanjangkan menjadi "Koloni Orang Belanda akan Japan Ambil Seantero Indonesia". Ia dikenai tahanan rumah karena dianggap tidak setia kepada Belanda dan main mata dengan pihak Jepang. Di rumahnya di jalan Sawah Besar No 32, Thamrin muntah-muntah dan demam mungkin karena gangguan ginjal, kecapaian dan malaria. Istrinya meminta polisi agar mengizinkan kunjungan dokternya. Akhirnya sang dokter datang, tetapi sudah terlambat, tanggal 10 Januari 1941, suhu badan Thamrin sangat tinggi dan ia hampir tidak bisa bicara. Dokter memberi suntikan untuk menurunkan panasnya, namun penyakitnya tidak tertolong lagi, esok subuh ia meninggal. Pada hari pemakamannya, dari rumahnya di Sawah Besar sampai ke kuburan Karet, lebih dari 20.000 orang mengantarkan jenazah tokoh Betawi itu ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tahun 1960, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.

Muhammad Husni Thamrin lahir pada 16 Februari 1894 di Sawah Besar, Jakarta Selatan. Setelah menamatkan pelajarannya di Koning Williem II, sejenis SMA ia kemudian bekerja di kantor kepatihan. Karena prestasinya baik, maka ia dipindahkan ke Kantor Karesidenan dan terakhir ke perusahan pelayaran Koninglijke Paketvaart (KPM) Pada tahun 1927 ia diangkat sebagai anggota Volksraad. Ia membentuk Fraksi Nasionalis untuk memperkuat golongan nasional dalam dewan tersebut. Setelah dr. Sutomo meninggal dunia pada tahun 1938, maka Thamrin menggantikannya sebagai wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra). Perjuangannya di Volksraad tetap dilanjutkan dengan sebuah mosi, agar istilah Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander diganti dengan istilah Indonesia, Indonesische dan Indonesiea. Sejak tanggal 6 januari 1941 Husni thamrin dikenakan tahanan rumah, karena dituduh bekerja sama dengan Jepang. Walaupun dalam keadaan sakit, Thamrin tidak boleh dikunjungi teman-temannya. Akhirnya ia meninggal dunia pada 11 Januari 1941 dan dimakamkan di pekuburan Karet, Jakarta.

Menjadi "Jawara" dan "Juragan" di kampung sendiri  sebagai slogan perjuangan yang menghendaki, kemandirian didalam eksistensi dan perekonomian, awalnya dikumandangkan oleh MH. Thamrin. Slogan tersebut terkesan sederhana namun bermakna global alias mendunia.

Contoh : Jika pemerintah Negara Republik Indonesia memakai slogan tersebut sebagai pola pemerintahnnya maka banyak hal positif yg dapat diraih misalnya, hasil produksi lokal dapat menjadi raja di pasar dalam negeri dan peristiwa mengambilan hak paten terhadap produk2 Indonesia oleh pihak asing tidak akan terjadi.

dan apakan sampai saat ini negara kita INDONESIA sudah menjadi JAWARA & JURAGAN di negri sendiri??? tentu tidak,karena ini adalah sebuah cita-cita yang sangat besar,meski terlihat sangat sederhana.