Anda mungkin pernah menonton film karya almarhum Wim Umboh yang berjudul “Pengemis dan tukang becak” sebuah film yang legendaris. Yang memotret kehidupan sosial masyarakat miskin di tahan air khususnya di Ibu Kota RI Jakarta. Dan sekitar tahun 1984-1986. dibawah kendali mutu Pangkopkamtib Jenderal Soedomo. Pengemis, gelandangan pengamen dan asongan ditertibkan dengan sangat keras. Alasannya karena penampilan mereka yang compang-camping, dianggap oleh pemerintah sebagai sososk yang “memalukan”. Konon katanya, malu dari Negara sahabat yang berkantor di Jakarta dan juga malu pada turis mancanegara. Karena bangsa ini terkesan miskin.
Kenapa mesti malu. Padahal sejatinya, bukankah kemiskinan di Negara kita mencapai angka lebih dari 30%?
Tak lama setelah ‘kamtib’ (Istilah dimasa Soedomo) menghalau para pengemis, gelandangan, pengamen dan asongan dari jalanan di Ibu kota. Sehingga sebuah surat pembaca dilayangkan di majalah tempo. Mengusulkan agar media massa di Jakarta yang biasanya memakai jasa para pedagang asongan dan anak terlantar,untuk dagang produk mereka. Dan memberikan busana pada para asongan berupa kaos, jacket dengan logo media massa yang bersangkutan. Dengan harapan, kalo alasannya sekadar penampilan, maka dengan kaos dan jacket yang panta, mereka mungkin akan terlihat canti dan rapih saat bekerja di jalanan.
Walhasil Majalah Tempo kala itu yang pertama melakukannya. “SALUTE TO TEMPO” sepekan setelah Soedomo marah-marah seluruh asongan Jakarta menggunakan jacket bertulisan ‘Temp-enak dibaca dan perlu. Pekan berikutnya hingga kini, sikap itu diikuti oleh seluruh media massa. Mereka memberikan bantuan kepada para pedagang asongan berikut logo media massa yang bersangkutan.
Konon Soedomo tidak jadi marah-marah. Para asongan dan fakir miskinpun bersorak gembira dan kembali bekerja di jalanan. Hingga kini secara turun temurun. Sayangnya jumlah asongan yang mengenakan kaos,jacket cantik dengan atribut sekarang terlihat semakin jarang. Nampaknya busana compang-camping kembali melekat kepada mereka.
Apa itu penyebabnya, pemerintah daerah embali menertibkan mereka??? Dan ditambah Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 mengenai Ketertiban Umum.
Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Budihardjo, Senin (31/8) di Jakarta Pusat, mengatakan, mereka ditangkap di sekitar perempatan Cempaka Putih, perempatan Senen, Tomang, TMII, Cilandak, dan perempatan Pramuka. Penangkapan sudah dilakukan dalam beberapa hari terakhir dan sidang tindak pidana ringan langsung digelar setelah penangkapan.
Hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur memberi sanksi Rp 150.000 sampai Rp 300.000 kepada para pemberi sedekah itu. Hukuman itu jauh lebih ringan dibandingkan ancaman hukuman dalam Perda Ketertiban Umum, yaitu kurungan maksimal 60 hari atau denda maksimal Rp 20 juta. (detik.com)
Weeeeeeeeeeeeeeeedeeeeeeeeew…....
”Jangan jadikan fakir miskin sebagai obyek penderita dalam kehidupan berbangsa bung…….!!!
Atau mungkin semua ini murni karena persaingan bisnis, yang berkaitan dengan sinyalemen, bahwa para pengemis dan pengamen itu sesungguhnya adalah pekerja dari sebuah organisasi besar yang berlindung di balik kemiskinan. Konon ini yang membuat pemerintah menjadi gerah. Atau jangan-jangan sesungguhnya adalah mereka yang tersaingi, yang juga sesungguhnya para pengemis yang bertopeng di balik jas dan dasi???
Tauuuu deeeeh…gue juga bingung!!!yang mana yang bener???
Apapun maksudnya, seperti semua yang tertulis di atas, justru saya ingin melihatnya dari kaca mata kultural saja.
Dari kisah film karya almarhum Wim Umboh dan Pangkopkamtib Jenderal Soedomo. Terlihat 2 cara pendekatan yang dilakukan di tengah masyarakat kita dalam memperbaiki peradaban bangsa pertama pendekatan Kulturar (Wim Umboh + Tempo + media massa lainnya) serta pendekatan stukturar (Soedomo). Mungkin, alangkah lebih arifnya jika semua permasalahan kemanusiaan di tengah bangsa dilakukan secara pendekatan kulturar, ketimbang pendekatan strukturar. Kecuali, misalnya para pengemis, gelandangan dan pengamen telah masuk ke ruang kriminalitas.
Namun jika di atas benar, ada “cukong” yang bekerja di balik para fakir miskin. Sebaiknya melakukan pendekatan intelejen yang handal dari pihak aparat. Cukong besar itulah yang ditangkap, dari pada mengejar-ngejar para pekerjanya. Yang jelas-jelas hidup di bawah garis kemiskinan. Dan karena mereka miskin itulah sehingga mereka mau bekerja di balik terik matahari, di tengah ancaman maut kendaraan dan minimnya jaminan kesehatan dari asapo knalpot dan debu jalanan.
Persoalannya kenapa pemerintah lebih suka menyelesaikan masalah dengan pendekatan struktural semata? Kenapa tidak melengkapinya dengan pendekatan kulturar saja, bukankah pada dasarnya Negara kita Negara adalah bangsa yang beradab dan berbudaya, termasuk para fakir miskin itu yang mencari nafkah di jalanan. Bahwasanya mereka lebih bermartabat dibandingkan dengan seorang koruptor.
Seharusnya pemerintah melibatkan para seniman film,misik,budayawan dan dari cabang seni lainya dalam menyelesaikan masalah kemiskinan di Negara ini. Coba simak saja dari lagu-lagu Slank, Iwan fals, film karya almarhum Wim Umboh yang lebih sensitive dalam memahami persoalan kemiskinan di tanah air.
Karena mereka yakin dan percaya lewat musik dan film atau garis besarnya sebuah karya seni adalah sebuah bentuk komunikasi yang dapat merubah mind set masyarakat . seperti Wim Umboh yang membuat film bertajuk “Pengemis dan tukang becak” yang tak hanya berhasil secara sinemati sebagai peraih FFI, tapi sungguh sangat membangun kesadaran masyarakat kelas atas untuk selalu menengok kebawah.
“…TUH MASIH BANYAK YANG MISKIN…”
Sebaiknya para pemimpim jangan bangga dulu karena saat ini anda jadi pemimpin masyarakat, kalau belum bisa menuntaskan masalah kemiskinan di tanah air ini dengan cara yang lebih beradab dan berbudaya. Kemiskinan tidak mungkin dihapuskan sekaligus. Iya…kita sepakat. Tapi Jangan jadikan fakir miskin sebagai obyek penderita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti maling? Koruptor aja tuh…berantas yang berdampak besar terhadap roda perekonomian secara Universal. Semua manusia di negri para leluhur ini adalah subyek dari pembangunan peradaban bangsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar