Pahlawan adalah “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani”. Sedangkan menurut Webster, pahlawan (hero) adalah “legenda seseorang yang memiliki kekuatan dan keberanian luar biasa, kiriman dewa-dewa dan datang dari kalangan mereka, memiliki karunia setengah dewa dan dipuja setelah ia mati”. Mengacu pada dua kamus tersebut boleh dikatakan pahlawan adalah sosok yang istimewa. Sebenarnya manusia yang diberi gelar pahlawan itu menyangkut banyak hal, bukan hanya manusia yang berjuang dalam medan perang saja, tetapi juga manusia yang berjuang dalam bidang pendidikan, agama, kesenian, dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa dan Negara. Bahkan seorang bapak yang mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarganya dan pendidikan anak-anaknya juga bisa dibilang seorang pahlawan.
Manusia yang diberi gelar pahlawan bukanlah orang sembarangan. Harus ada kriteria tertentu seseorang ditabalkan gelar pahlawan. Di Indonesia, masalah gelar pahlawan diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Dan Siapa pun bisa jadi pahlawan. Banyak sekali pahlawan kita yang tidak dikenal karena kurangnya penyelidikan yang mendalam dari riwayat hidupnya. Jadinya, gelar pahlawan bisa populer kalau ada pernyataan resmi dari pemerintah. Padahal kita yakin, pahlawan di Indonesia banyak sekali.
Namun bagaimana dengan manusia yang berjasa dalam memploklamirkan dan menerapkan pluralisme, apa perlu diberi gelar pahlawan???tentu tidak!!!
pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :
1. Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
2. Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
3. Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.
Baik jika kita berbicara pluralisme pada arti nomor 1 yaitu Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural, karena tidak bisa dipungkiri masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Dan dalam penerapan pluralisme itu cukup dengan mengakui dan menjaga kedaulatan agama dan budaya, membuka komunikasi antar etnis, dan menjalin tali silaturahmi antar etnis bergama yang erat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. demi tercapainya P.L.U.R : Peace,Love,Unity and Respect yaitu empat suku kata keramat yang bermakna global dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun sangat buruk jika pluralisme yang ploklamirkan dan diterapkan dalam arti nomor 2 dan 3. Yaitu pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama, pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.
Dan dalam hal ini M.U.I pernah mengeluarkan fatwa dari M.U.I yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, M.U.I menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama Islam
Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non asimilasi, hal ini di-salah-pahami sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya. Dalam pemaparan diatas, kita dapat memahami pengangkatan dan pemberian gelar pahlawan yang memploklamirkan dan menerapkan pluralisme, sangat tidak perlu bagi indonesia yang mayoritas penduduknya adalah umat islam. karena kita tidak tau pluralisme yang diterapkan itu dalam arti nomor 1, atau nomor 2 dan 3.
Jika seseorang menjadi pahlawan dengan subtitel Bapak Pluralisme , maka orang-orang akan menganggap pluralisme itu baik, dan menerima istilah tersebut secara taken for granted. Dalam hal ini, penting bagi kita untuk mengingat bahwa MUI telah tegas-tegas menyatakan pluralisme sebagai ideologi terlarang bagi umat islam.
Baik mereka yang mengusung pluralisme, yang menyebut-nyebut istilah “Bapak Pluralisme”, maupun media massa yang ikut-ikutan menggunakan istilah pluralisme, kemungkinan besar tidak tahu apa definisi pluralisme itu, atau tidak mampu mendefinisikannya.mungkin juga tidak mau mendefinisikannya. Dan mereka bertanggung jawab atas sosialisasi dalam mendefinisikan istilah pluralisme. Karena mengingat tingkat pendidikan masyarakat yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung seringkali melapisi aroma debat antar tiga pihak yaitu : penganut pluralisme dalam arti asimilasi, penganut pluralism dalam arti non asimilasi, penganut anti-pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism dalam arti non-asimilasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar