سْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


THIS BLOG DEDICATED FOR ALL YOUTH WITH BATAVIAN BLOOD

Kami berdua adalah putra betawi asli dan bertekad meneruskan perjuangan Muhammad Husni Thamrin, yang telah mencetuskan sebuah ideum "JAWARA DAN JURAGAN DI KAMPUNG KITE" yang kembali di ploklamirkan dan diterapkan oleh


Drs.Kh A Fadloli el Muhir.


Adapun defenisi JAWARA DAN JURAGAN itu adalah, sebuah ideum lokal yang bisa mewakili suasana kebatinan masyarakat Betawi, yang ingin keluar dari himpitan sosial yang selama ini membonsai mereka.

Tentu untuk menjadi JAWARA,bukan berarti menjadi jagoan seperti Jawara tempo dulu. jawara di sini tentu dimaksudkan bahwa orang betawi harus menjadi pemberani.tidak mudah menyerah, gigih dan tegar menghadapi masalah dengan segala resiko. sikap kejawaraan semacam itu masih tetap aktual di era global ini. tanpa itu rasanya, masyarakat betawi sulit keluar dari lingkaran setan proses pembangunan yang tengah berjalan di ibu kota. sekalipun mereka diberikan akses di berbagai aspek kehidupan, rasanya orang betawi akan sulit memanfaatkannya, kalau mereka tidak memiliki sikap kejawaraan. Apalagi kalau akses mereka ditutup, maka orang betawi itu sudah jatuh tertimpa tangga.

Sementara menjadi JURAGAN, disini orang Betawi harus bisa menjadi tuan. Mereka harus bekerja keras , agar bisa menjadi juragan di negri sendiri. sikap malas,cepat puas dengan hasil yang ada, tentu sangat tidak relevan dengan sikap seorang juragan yang harus bekerja keras agar dapat diperhitungkan oleh masyarakat sekitarnya.

Dengan menjadi Juragan,orang betawi tidak mudah termaginalisasikan. Dengan menjadi juragan merka bia diperhitungkan dalam aspek kehidupan masyarakat kota. dengan Juragan mereka bisa menjadi tuan di negri sendiri.

untuk membangun stereotipe masyarakat semacam itu memang bukan seperti membalik telapak tangan. Ini tentu membutuhkan proses yang sangat panjang, belum lagi stereotipe JAWARA dan JURAGAN itu merupaka anti tesis dari kondisi masyarakat Betawi yang termaginalkan.juga ditambah pembentukan opini public yang mengatakan orang betawi rendah diri,malas,dan cepat puas dengan apa yang ereka dapatkan. ini tentu membutuhkan perubahan mind set. Harus ada perubahan kultur.

Karena ini adalah sebuah cita-cita yang sangat besar yang telah digagas oleh Drs.Kh A Fadloli el Muhir, JAWARA dan JURAGAN itu bermakna global. karena ini juga merupakan cita-cita Indonesia.

JURAGAN LENONG



Haji Bokir bin Dji'un





Kesenian Topeng Betawi


Tokoh kesenian topeng Betawi Haji Bokir bin Dji'un, meninggal dunia dalam usia 77 tahun pada hari Jumat (18/10) sekitar pukul 05.30. Jenazah dimakamkan siang harinya setelah shalat Jumat di pemakaman Kampung Keramat, Cipayung, Jakarta Timur. Sejumlah tokoh topeng betawi dan lenong turut mengantar jenazah Bokir, seperti Nasir, Omas, dan Hajah Nori.

Sekitar pukul 04.30, ia tidak sadarkan diri setelah keluar dari kamar mandi di rumahnya di Kampung Setu, Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta Timur, dan meninggal sekitar pukul 05.30.

Bokir yang dilahirkan di Cisalak, Bogor, 25 Desember 1925, itu sudah lama mengidap penyakit darah tinggi. Ia meninggalkan seorang isteri, lima anak dan sembilan cucu. Sebelum meninggal, Bokir tinggal dengan istri ketiganya Namah. Dua istrinya telah meninggal dunia.

Ayah Bokir, Dji'un, juga seorang pemain topeng Betawi semasa kolonial. Hampir seluruh hidup Bokir dipersembahkan untuk kesenian topeng dan lenong Betawi. Ia sudah bermain topeng Betawi sejak usia 13 tahun. Pada mulanya ia sebagai pemain kendang sampai rebab. Kemudian ia mendirikan dan memimpin kelompok topeng Betawi Setia Warga sejak tahun 1960-an hingga akhir hayatnya. Pada awal tahun 1970-an Setia Warga sering tampil di TVRI.

Penampilan terakhir Bokir dan kelompoknya, September 2002 lalu, di sebuah hajatan perkawinan di Cilangkap. Mereka memainkan cerita Salah Denger yang-antara lain-didukung Bolot, Malih, dan Bodong. Mandra dan Omas, pemain topeng betawi yang kemudian sebagai pemain sinetron, adalah keponakan Bokir.

Selain main topeng dan lenong, Bokir pernah bermain pada sekitar 50-an film, termasuk film Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986). Film yang dibintangi Suzanna dan disutradarai Sisworo Gautama Putra itu ditayangkan oleh RCTI pukul 13.00 bertepatan dengan hari wafat Bokir. Ia juga tampil dalam sejumlah sinetron, di antaranya Koboi Kolot, Fatimah, dan Angkot Haji Imron



 


Nasir (meninggal di Jakarta, 12 April 2006) adalah seorang seniman lenong dan topeng Betawi.
Nasir menggeluti dunia lenong dan topeng Betawi sejak berusia 14 tahun mewarisi profesi orang tuanya. Pada tahun 1970-an, Televisi Republik Indonesia menayangkan program lenong Betawi dengan pemeran Nasir dan beberapa tokoh lenong lainnya, yaitu Bokir, Siti, serta Anen. Nasir turut mendirikan kelompok Lenong dan Tari Topeng "Setia Warga" pimpinan Bokir, dan lalu mendirikan kelompok kesenian sejenis yang diberinya nama "Sinar Jaya".
Nasir dianggap konsisten menghidupkan budaya asli Betawi melalui kesenian lenong yang digelutinya. Mandra, aktor dan tokoh kesenian Betawi generasi setelah Nasir, menganggap Nasir sebagai senior di panggung lenong dan merupakan bapak tokoh-tokoh lenong dan topeng Betawi.


Tak bisa dipungkiri kesenian tradisional Betawi yang paling populer hingga kini adalah lenong. Tentu orang masih mengingat pentolan sekaligus tokoh Betawi yang kocak, H. Bokir, (alm) Mpok Siti, H. Nasir, dan lain-lain. Lewat banyolan yang spontan dan lebih bersifat celetukan, para pemain lenong senior tersebut bisa dibilang merajai panggung dan layar kaca di era 1970-an dulu.Sebagai hiburan, lenong memiliki daya tarik tersendiri. Lewat celetukan-celetukan khas Betawi, lenong mudah dipahami dan diterima hampir semua lapisan masyarakat dari suku yang berbeda-beda. Tak heran karena sifatnya yang mudah dicerna dan mampu mendobrak batas-batas suku dan agama, lenong menjadi sangat digemari.

Sayangnya, semakin uzurnya para pemain senior, lenong Betawi pun seakan turut pudar. Padahal, sesungguhnya masyarakat masih merindukan kesenian rakyat ini. Buktinya, kemunculan Lenong Rumpi dan Lenong Bocah di awal tahun 1990 mendapat sambutan hangat. Padahal, para pemainnya bukan orang Betawi asli.


Namun, masa keemasan ini pun tak lama. Sekitar lima tahun masa tayangnya, posisi mereka tergusur oleh kesenian Jawa Tengah-Jawa Timur seperti Ketoprak Humor, yang merupakan pecahan dari grup lawak Srimulat. Sementara lenong sedikit demi sedikit tergusur dari layar kaca dan beralih main dari kampung ke kampung.


Kesulitan Regenerasi
Apa sebab lenong tergusur? Ketika pertanyaan ini diajukan kepada Malih T, ia langsung menjawab tak adanya regenerasilah yang menjadi penyebabnya. Memang pada umumnya, kesenian tradisional Betawi termasuk lenong, lahir secara turun-temurun. ” Saya mengakui yang namanya regenerasi itu sulit. Seniman Betawi tua memang kurang komunikasi dengan yang muda,” akunya saat ditemui SH di sela-sela kesibukannya mengisi acara HUT Jakarta di Balaikota, Sabtu malam (22/6).
Malih sendiri kini memiliki sebuah grup kesenian Betawi yang diberi nama Malih Grup. Namun, tak pelak ia mengalami kesulitan untuk mencari bibit baru dan mengasuh mereka. Selain banyak yang kurang disiplin, banyak pemain yang masih awam. Pemain yang rata-rata tingkat pendidikannya rendah seringkali mengalami kesulitan menghadapi penonton yang memiliki tingkat pendidikan tinggi. Dengan lebih banyak mengandalkan improvisasi, bisa dipastikan kesenian ini bakal menemui kesulitan jika pemainnya tak memiliki cukup wawasan.


Inilah sebabnya, kalaupun ada yang tertarik bergabung dengan kelompoknya, sambung Malih, lebih banyak yang tertarik untuk menyanyi dangdut dibanding gambang kromong. ” Mungkin karena lebih mudah belajarnya dan banyak yang nanggap,” sahut Malih yang memiliki 50 anggota yang terdiri dari pemain gambang kromong, lenong dan penyanyi dangdut.


Sama seperti Malih, Omas juga memiliki keprihatinan yang sama. Memudarnya lenong salah satunya akibat tidak ada regenerasi. Di saat yang tua sudah mulai sakit-sakitan dan banyak yang sudah meninggal, yang muda banyak yang tidak peduli.



Malih dan Omas sepakat, tersingkirnya kesenian Betawi khususnya lenong bukan berarti mereka langsung menyalahkan kesenian daerah lainnya yang saat ini banyak digemari seperti Ketoprak Humor.
” Sebenarnya kita masih eksis kok. Buktinya di kampung-kampung seperti Bekasi dan Tambun, masih banyak lenong keliling. Kalau di televisi, masih ada Komedi Betawi di Anteve juga beberapa sinetron Betawi. Tapi untuk membuat acara lenong seperti dulu lagi atau tayangan Betawi lainnya memang susah. Kita nggak siap naskahnya,” cetus Omas yang pertama kali terjun ke televisi bermain lenong lewat Topeng Betawi di TVRI tahun 1990-an bersama pamannya, Bokir.


” Kita nggak bisa nyalahin televisi atau Ketoprak Humor. Ini adalah salah kita sendiri kenapa tidak mau berusaha. TV adalah milik bangsa kita bersama, salah kita tidak memberi naskah yang menarik kepada televisi,” imbuh Malih seraya mengatakan tahun lalu pernah ada pertemuan antara seniman-seniman Betawi yang memperbincangkan nasib kesenian tradisonal Betawi. Sayangnya hingga kini, pertemuan itu belum membuahkan hasil.


Kesulitan Dana
Di tengah situasi yang tidak menguntungkan, toh langkah para seniman Betawi ini tidak surut untuk melestarikan kesenian tradisionalnya. Jika generasi Omas, Mandra, dan Bolot memilih tampil di televisi lewat sinetron, termasuk bintang tamu di berbagai acara lawak, Malih lebih memilih untuk nanggap dari kampung ke kampung.


” Alhamdulillah, hasilnya lumayan. Memang tidak seramai dulu karena sekarang masih krismon,” kata Malih yang dalam sebulan bisa 4-5 kali manggung dengan bayaran Rp 25 juta sekali manggung. Biaya sebesar ini dia pakai untuk membayar 50 orang pemain, sewa peralatan panggung, transportasi serta biaya pembinaan. ” Kita memang masih kekurangan dana untuk melakukan pembinaan. Dana yang tersedia hanya seadanya dari hasil manggung itu,” sambung Malih yang pertama kali terjun sebagai pemain lenong profesional di TIM tahun 1992 bersama Bokir ini yang kemudian pecah dan masing-masing mendirikan kelompok sendiri-sendiri ini.


Kesulitan dana ini agaknya yang menyebabkan beberapa seniman Betawi terpaksa mendua. Bolot, misalnya, melakukan dua cara sekaligus. Selain tampil di acara-acara televisi sebagai freelance, seperti menjadi bintang tamu Ketoprak Humor, Bolot juga sering manggung bersama kelompok lenongnya, Bolot Grup. ‘Tampil bersama Ketoprak Humor, kenapa tidak? Kita kan juga perlu makan. Sama saja kok tampil bersama Ketoprak atau lenong,” tandas Bolot yang main lenong sejak tahun 1963.


Raja Kampung
Di tengah persaingan yang ketat, Malih dan Omas masih tetap optimistis kesenian Betawi bakal bangkit kembali. Seperti dikatakan Malih, beberapa saat yang lalu ia berbincang-bincang dengan salah satu tokoh Betawi yang menjanjikan akan membuat Gedung Kesenian Betawi.
” Saya lupa namanya. Tapi dia bilang sedang melakukan pendekatan minta lahan di daerah Kemayoran untuk membangun Gedung Kesenian Betawi. Saya sih berharap kalau ini benar terjadi, bisa membantu kemajuan kesenian Betawi. Tapi nggak tahu juga pelaksanaannya kapan,” sahut Malih.


Di lain pihak Omas mengatakan, ia bersama rekan-rekan lainnya sedang mencari format acara berbau Betawi untuk ditawarkan ke berbagai stasiun televisi. ” Memang nggak gampang. Tapi kalau bukan kita yang peduli siapa lagi? Kita nggak boleh kalah sama kesenian lainnya, justru kita harus jadi raja di kampung sendiri dong,” tegas Omas, salah satu dari sedikit seniman Betawi yang serba bisa, mulai dari menari, menyanyi, main lenong hingga main sinetron.






3 komentar:

  1. maju terus.....!!!! bagi seniman2 muda betawi,klo bs kite bikin tv sendiri bang....namanyetelevisi betewi jaya

    BalasHapus
  2. boss cara dapet kaset bokir lenong lawakan dimana ya . hub (021)91000750 urgent

    BalasHapus
  3. boleh dounk kaset bokir lenong lawakan

    BalasHapus